adsensenya icang

Kamis, 05 Januari 2012

Demokrasi dalam Republik

Demokrasi dalam Republik
Oleh: La Ode Machdani Afala*

Kedamaian suatu negara dapat dilihat dari penataan hubungan antara rakyat dengan pemerintahnya dalam sistem politik yang lebih adil dalam lebih toleran. Pengakuan hak-hak rakyat oleh pemerintah melalui penataan yang baik adalah kekuatan dalam membangun keutuhan negara. Negara yang demokratis tidak menginginkan pemerintahan yang sewenang-wenang, apatalagi tidak menghormati kemanusiaan.  Keberadaan negara pada dasarnya dibangun atas dasar kepentingan umum (res-publica) sebagaimana kehendak dari sebuah negara republik. Republik yang berpihak kepada kepentingan umum demi kebaikan bersama.
Di abad modern, banyak negara yang menggunakan bentuk pemerintahan republik. Hal ini, terjadi sebagai efek dari masa kelam abad pertengahan, dimana banyak negara Eropa menggunakan model pemerintahan teokrasi dan monarki (kerajaan). Negara-negara di abad itu, banyak dipengaruhi oleh otoritas agama sehingga kekuasaan seorang raja sangat dipengaruhi oleh otoritas agama. Kaum agamawan menjadi pusat dari segala kekuasaan atas kehidupan manusia dan kebijakan para raja.  Kekuasaan para raja hanya bisa dijalankan dengan petunjuk dari para kaum agamawan. Di masa itu, Agustinus (350-430 M) membagi negara atas dua bagian; Civitas Dei artinya negara Tuhan dan Civitas Terrena/diaboli artinya negara duniawi/negara iblis. Civitas diaboli ditolak oleh Agustinus karena hanya mengejar dunia belaka. Dia lebih cenderung memilih Civitas Dei. Negara tuhan bukanlah negara dunia ini, akan tetapi jiwanya yang dimiliki sebagian oleh beberapa orang di dunia untuk mencapainnya, yang melaksanakan itu adalah gereja yang mewakili negara Tuhan. Civitas diaboli adalah kerajaan yang diperintah oleh kaisar yang tidak mempunyai rasa keadilan. Keadilan hanya bisa dicapai menurut Agustinus jika negara diperintah oleh seorang agamawan dalam civitas dei. Hanya dengan mengejar ke arah Tuhan orang dapat mencapai hidup bahagia selama-lamanya.
Sebelum abad pertengahan berakhir, lahir negara-negara (nasional state) di Eropa barat pada permulaan abad ke-16. Perkembangan selanjutnya negara-negara yang dimaksud mengalami perubahan sosial dan kultural memasuki era yang lebih modern sehingga mereka mampu mencerahkan diri dari persoalan suku, bangsa dan negara. Masa renaissance yang dipelopori oleh Eropa selatan (Italia) pada 1350-1600 M dan reformasi tahun 1500-1650 M yang menghidupkan kembali minat manusia kepada kesusasteraan dan kebudayaan yunani kuno yang selama abad pertengahan telah disisihkan. Aliran ini lebih mengeskspolorasi konsep-konsep duniawi dan materi dibandingkan keagamaan. Reformasi dan perang agama menyebabkan manusia lepas dari dominasi dan kungkungan gereja baik spiritual dalam bentuk dogma maupun bidang sosial dan politik. Pertentangan dan pergumulan ini selanjutnya memunculkan konsep kebebasan beragama dan dikotomi antara negara dan dunia khususnya bidang pemerintahan. Kebebasan berpikir membuka jalan untuk meluaskan gagasan dibidang politik. Timbullah gagasan bahwa manusia mempunyai hak-hak politik yang tidak boleh diselewengkan oleh raja. Apabila raja menyeleweng dalam memerintah maka raja pantas dikritik dan koreksi oleh rakyatnya meskipun kekuasaan raja saat itu tidak terbatas.
Dalam perkembangannya kemudian, keberadaan pemerintahan monarki menghiasi sejarah sesudah berakhirnya abad pertengahan. Monarki-monarki absolut ini ada sejak tahun 1500 M samapi 1700 M. Raja-raja absolut menganggap dirinya berhak atas tahta berdasarkan konsep Hak Suci Raja (divine right of kings). Hal ini dipraktekan oleh raja Louis XIV dari Prancis dengan ucapannya I’e etas c’est moi (negara adalah aku) dan beberapa model monarki yang sudah termasuk ke dalam monarki konstitusional sebagai salah satu bentuk perkembangan dari monarki itu sendiri. Penganjur monarki konstitusional adalah John Locke yang dapat diterima di Inggris setelah lahirnya piagam Bill of Right (1689) .
Republik Otoriter dan Indonesia
Nicollo Machiavelli memaparkan bahwa negara itu ada dua macam ; res-publica (republik) dan pricipar (kerajaan). Baginya negara adalah genus, republik dan kerajaan adalah species. Perbedaan republik dan kerajaan dilihat berdasarkan cara pembentukan kemauan (tujuan) negara. Dalam pemerintahan kerajaan, tujuan pembentukan negara atau pemerintahan oleh personal. Personal raja yang menginginkan kekuasaan dan pemerintahannya digunakan sebagai alat untuk memenuhi kepentingannya, sedangkan republik pembentukan pemerintahannya berdasarkan rakyat banyak dan pemerintahannya berdasarkan kepentingan orang banyak. Kepentingan pribadi dimarginalkan. Konsep negara Machiavelli itu, lahir sebagai bentuk penentangannya terhadap negara teokrasi dan monarki yang banyak dipraktekan di abad pertengahan.
Kata republik berasal dari kata res artinya kepentingan dan publica artinya umum. Jadi artinya mengurus kepentingan umum. Republik merupakan bentuk pemerintahan yang berkedaulatan rakyat dan dikepalai oleh presiden. Dalam pemerintahan republik, organisasi negara ditujukan untuk kepentingan umum. Rakyatlah yang menentukan pemerintahan, termasuk menentukan kepala negara yang dinamakan presiden dengan waktu yang ditentukan rakyat dan rakyat mempunyai hak yang sama dalam segala bidang kehidupan. Dalam negara republik terdapat dua kecenderungan atau sifat; republik otoriter dan republik demokratis.
Negara Indonesia pada awal kemerdekaannya telah menyatakan dirinya sebagai negara republik. Negara kesatuan republik sejak tahun 1945. Dalam rentang sejarah, Indonesia pada tahun 1949-1950 pernah menjadi negara republik Indonesia serikat. Sedangkan pada masa orde baru, di era presiden Soeharto negara Indonesia adalah negara republik yang otoriter. Keotoriteran Soeharto nampak dari kekuasaanya (eksekutif) yang bisa mengendalikan parlemen, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan yang tidak berasaskan kehendak masyarakat banyak sebagaimana prinsip republik dan demokrasi itu sendiri untuk kepentingan umum dan lamanya berkuasa sampai dengan 32 tahun.
Pada masa Orde baru Soeharto, kebebasan pers, media dan kebebasan membentukan organisasi telah diberikan ruang. Akan tetapi, keberadaan organisasi/partai politik dan pers serta lembaga perwakilan rakyat dan lembaga negara lainnya hanya dianggap formalitas belaka karena semua kebijakan dikendalikan oleh pemerintahan yang berkuasa malalui kekuatan militer. Partai politik dan pers tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik karena intervensi yang sangat tinggi oleh pemerintah. Golongan karya yang dianggap partai pada akhirnya tidak mau disebut partai. Pada akhirnya, aspirasi rakyat hanya dianggap formalitas belaka untuk memenuhi standar sebagai negara republik. Intervensi eksekutif dalam hal ini presiden Soeharto terjadi pada semua lini kehidupan bernegara. Ini bukti kekuasaan yang otoriter di masa orde baru. Negara, di era ini sangat kuat karena kekuasaan dikendalikan oleh seorang penguasa otoriter lewat kekuatan militer. Inilah potret pemerintahan masa orde baru Indonesia.
Republik Demokratis dan Indonesia
Banyak yang berpendapat negara republik adalah lebih demokratik dari negara monarki. Hal ini dikarenakan republik mengusung kepentingan umum rakyat sebagaimana kehendak dari demokrasi. Namun itu semuanya sebenarnya bergantung kepada siapa yang memegang kuasa eksekutif dan bagaimana kebijakan yang dilahirkannya. Pada hampir setengah negara-negara monarki, raja hanyalah sekedar lambang kedaulatan negara, dan perdana menteri lebih berkuasa dari raja. Monarki biasanya bertakhta seumur hidup dan kuasanya akan diberi kepada keturunan atau dipilih mengikut peraturan yang ditetapkan. Banyak negara monarki adalah demokratik.

Di Indonesia, pada tahun 1998 pasca orde baru yang ditandai dengan kejatuhan Soeharto yang berarti awal lahirnya reformasi, telah mengalami perubahan yang sangat besar dalam segala bidang. Reformasi juga di tandai dengan kebebasan yang dimiliki tiap masyarakat, dimana setiap orang diberikan jaminan oleh undang-undang untuk bebas berekspresi, mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul, serta kebebasan pers dan media. Era ini menandai lahirnya demokrasi bagi bangsa Indonesia.

Negara Indonesia sampai pada saat ini telah memasuki 13 tahun reformasi. Reformasi yang ditandai dengan demokrasi ini justru bagi sebagian orang dianggap gagal penerapannya di Indonesia. Sekalipun pada sebagian orang lainnya masih mentolerir ketidakharmonisan demokrasi dalam republik di era reformasi. Hal ini disebabkan karena mereka mengganggap negara Indonesia masih dalam tahap transisi demokrasi. Akan tetapi jika dilihat dari perjalanan reformasi dari tahun ke tahun yang umurnya telah melampaui satu dasawarsa ini, demokrasi substansial yang diharapkan di awal reformasi semakin jauh dari harapan. Demokrasi yang dianggap sebagai aturan yang memuat prinsip-prinsip demokratis, yaitu keadilan, persamaan, kebebasan dan pengakuan atas hak milik pribadi atau menurut Robert Dahl, prinsip  demokrasi, yaitu adanya akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekruitmen politik terbuka, pemilu dan menikmati hak-hak dasar tidak terjadi di Indonesia. Prinsip-prinsip itu hanya dilaksanakan pada tingkat prosedural, tetapi tidak secara substansial. Kesenjangan ini semakin menjauhkan dari harapan untuk merealisasikan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam demokrasi, pemerintah bukanlah penguasa yang sesungguhnya, karena pemerintah merupakan pelayan masyarakat, sebagai pemilik kedaulatan dan kekuasaan yang sejati. Kebebasan yang dimiliki oleh rakyat sebagai buah demokrasi dan reformasi justru melahirkan anarkisme karena kebebasan itu tidak dibarengi dengan regulasi yang dibuat oleh pemerintah dalam menetapkan tingkat kebebasan dari rakyat. Kondisi inilah yang melahirkan ketidakstabilan dalam negara Indonesia.

Sikap pesimis terhadap demokrasi kemudian menjadikan rakyat fobia terhadap apapun yang mempuyai embel-embe demokrasi. Hal ini sebagai efek dari banyaknya kasus-kasus yang terjadi di era reformasi mulai dari kasus hukum terutama kasus korupsi yang merajalela dan menjamur pada semua tingkatan masyarakat dan struktur pemerintahan, kasus politik pemerintahan khususnya masalah kisruh partai politik, otonomi daerah, pemekaran dan pemberian otonomi khusus (Aceh dan Papua) yang dianggap tidak menyelesaikan masalah, masalah sosial khususnya tentang kemiskinan yang sekalipun secara kuantitas berdasarkan perhitungan pemerintah berkurang tiap tahun, tapi pada dasarnya secara kualitas masih banyak masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan, kemudian masalah kesehatan dan pendidikan yang terlampau mahal bagi masyarakat tingkat bawah sehingga susuah untuk di akses. Kasus belakangan ini yang sering muncul adalah masalah kebebasan beragama dan kekerasan atas nama agama yang sampai pada hari ini masih menimbulkan polemik. Secara kelembagaan memang demokrasi itu seolah-olah ada, misalnya saja ada partai politik, pers, dan lembaga perwakilan rakyat. Tetapi, secara factual demokrasi menjadi sulit terlihat karena arena partisipasi politik terbatasi dan terkontaminasi dengan berbagai tendensi pragmatis dan politis sebagai akibat buah demokrasi dan reformasi yang melahirkan kebebasan yang tanpa batas.

Pada dasarnya, demokrasi dan republik memiliki kesamaan prinsip untuk memperjuangkan kepentingan umum. Seyogyanya demokrasi dalam republik Indonesia bisa melahirkan sikap;(1) toleransi dari mayoritas kepada minoritas. Disini tercermin pula saling melindungi, saling menghargai dan yang besar mengayomi yang kecil (2) adanya musyawarah dalam memutuskan setiap pesoalan, bukan ditentukan sendiri oleh kelompok yang mayoritas, karena akan berubah menjadi tirani mayoritas (3) adanya aturan hukum yang diterapkan untuk semuanya tanpa pandang bulu. Demokrasi tanpa aturan hukum akan menjadi anarkis. Karena itu, hukum merupakan dasar yang paling penting untuk menjaga hubungan antara rakyat dan negara demi kebaikan dan kesejahteraan rakyat.

Pada akhirnya, republik yang dianut Indonesia tidak bisa dikatakan demokratis  sekalipun pada kenyataannya bahwa era reformasi telah membuka ruang demokrasi bagi setiap warga negara. Republik yang dianggap akan melahirkan demokratisasi justru mengarah pada absurbditas demokrasi yang tidak jauh berbeda dengan republik yang memiliki sifat otoriter di era Soeharto dan monarki di akhir abad pertengahan.



*Penulis adalah direktur pusat studi demokrasi Universitas Hasanuddin, Ilmu pemerintahan, fisip Unhas angkatan 2006



Senin, 02 Januari 2012

Buletin Pusat Studi Demokrasi

Salam demokrasi.

Setiap proses pastilah memiliki relnya masing-masing, dalam setiap petak yang dilalui jarang ditemukan sesuatu yang benar-benar mudah. Melalui proses ini, anak manusia diajarkan untuk menghargai waktu.

Bentuk menghargai waktu pun lalu hadir dalam sebentuk tulisan yang temanya walaupun diperingati pada waktu tertentu, ia tetaplah selalu punya konteks dalam dimensi mana pun.

Pendidikan.

Selamat menikmati e-buletin Pusat Studi Demokrasi.

"Diperlukan bermiliar-miliar tahun untuk menciptakan manusia. Dan diperlukan hanya beberapa detik untuk mati." (Jostein Gaarder)

*Departemen Media dan Informasi






untuk versi pdf
download buletin di sini
*selamat membaca dan berdiskusi