Demokrasi
dalam Republik
Oleh: La Ode Machdani Afala*
Kedamaian suatu
negara dapat dilihat dari penataan hubungan antara rakyat dengan pemerintahnya
dalam sistem politik yang lebih adil dalam lebih toleran. Pengakuan hak-hak
rakyat oleh pemerintah melalui penataan yang baik adalah kekuatan dalam membangun
keutuhan negara. Negara yang demokratis tidak menginginkan pemerintahan yang
sewenang-wenang, apatalagi tidak menghormati kemanusiaan. Keberadaan negara pada dasarnya dibangun atas
dasar kepentingan umum (res-publica)
sebagaimana kehendak dari sebuah negara republik. Republik yang berpihak kepada
kepentingan umum demi kebaikan bersama.
Di abad modern,
banyak negara yang menggunakan bentuk pemerintahan republik. Hal ini, terjadi
sebagai efek dari masa kelam abad pertengahan, dimana banyak negara Eropa menggunakan
model pemerintahan teokrasi dan monarki (kerajaan). Negara-negara di abad itu,
banyak dipengaruhi oleh otoritas agama sehingga kekuasaan seorang raja sangat
dipengaruhi oleh otoritas agama. Kaum agamawan menjadi pusat dari segala
kekuasaan atas kehidupan manusia dan kebijakan para raja. Kekuasaan para raja hanya bisa dijalankan
dengan petunjuk dari para kaum agamawan. Di masa itu, Agustinus (350-430 M)
membagi negara atas dua bagian; Civitas
Dei artinya negara Tuhan dan Civitas
Terrena/diaboli artinya negara duniawi/negara iblis. Civitas diaboli ditolak
oleh Agustinus karena hanya mengejar dunia belaka. Dia lebih cenderung memilih Civitas
Dei. Negara tuhan bukanlah negara dunia ini, akan tetapi jiwanya yang dimiliki
sebagian oleh beberapa orang di dunia untuk mencapainnya, yang melaksanakan itu
adalah gereja yang mewakili negara Tuhan. Civitas diaboli adalah kerajaan yang
diperintah oleh kaisar yang tidak mempunyai rasa keadilan. Keadilan hanya bisa
dicapai menurut Agustinus jika negara diperintah oleh seorang agamawan dalam
civitas dei. Hanya dengan mengejar ke arah Tuhan orang dapat mencapai hidup
bahagia selama-lamanya.
Sebelum abad
pertengahan berakhir, lahir negara-negara (nasional
state) di Eropa barat pada permulaan abad ke-16. Perkembangan selanjutnya
negara-negara yang dimaksud mengalami perubahan sosial dan kultural memasuki
era yang lebih modern sehingga mereka mampu mencerahkan diri dari persoalan
suku, bangsa dan negara. Masa renaissance
yang dipelopori oleh Eropa selatan (Italia) pada 1350-1600 M dan reformasi tahun 1500-1650 M yang
menghidupkan kembali minat manusia kepada kesusasteraan dan kebudayaan yunani
kuno yang selama abad pertengahan telah disisihkan. Aliran ini lebih mengeskspolorasi
konsep-konsep duniawi dan materi dibandingkan keagamaan. Reformasi dan perang
agama menyebabkan manusia lepas dari dominasi dan kungkungan gereja baik
spiritual dalam bentuk dogma maupun bidang sosial dan politik. Pertentangan dan
pergumulan ini selanjutnya memunculkan konsep kebebasan beragama dan dikotomi
antara negara dan dunia khususnya bidang pemerintahan. Kebebasan berpikir
membuka jalan untuk meluaskan gagasan dibidang politik. Timbullah gagasan bahwa
manusia mempunyai hak-hak politik yang tidak boleh diselewengkan oleh raja.
Apabila raja menyeleweng dalam memerintah maka raja pantas dikritik dan koreksi
oleh rakyatnya meskipun kekuasaan raja saat itu tidak terbatas.
Dalam
perkembangannya kemudian, keberadaan pemerintahan monarki menghiasi sejarah
sesudah berakhirnya abad pertengahan. Monarki-monarki absolut ini ada sejak
tahun 1500 M samapi 1700 M. Raja-raja absolut menganggap dirinya berhak atas
tahta berdasarkan konsep Hak Suci Raja (divine
right of kings). Hal ini dipraktekan oleh raja Louis XIV dari Prancis dengan
ucapannya I’e etas c’est moi (negara
adalah aku) dan beberapa model monarki yang sudah termasuk ke dalam monarki
konstitusional sebagai salah satu bentuk perkembangan dari monarki itu sendiri.
Penganjur monarki konstitusional adalah John Locke yang dapat diterima di Inggris
setelah lahirnya piagam Bill of Right
(1689) .
Republik Otoriter dan Indonesia
Nicollo Machiavelli
memaparkan bahwa negara itu ada dua macam ; res-publica
(republik) dan pricipar (kerajaan).
Baginya negara adalah genus, republik dan kerajaan adalah species. Perbedaan
republik dan kerajaan dilihat berdasarkan cara pembentukan kemauan (tujuan)
negara. Dalam pemerintahan kerajaan, tujuan pembentukan negara atau
pemerintahan oleh personal. Personal raja yang menginginkan kekuasaan dan pemerintahannya
digunakan sebagai alat untuk memenuhi kepentingannya, sedangkan republik pembentukan
pemerintahannya berdasarkan rakyat banyak dan pemerintahannya berdasarkan kepentingan
orang banyak. Kepentingan pribadi dimarginalkan. Konsep negara Machiavelli itu,
lahir sebagai bentuk penentangannya terhadap negara teokrasi dan monarki yang
banyak dipraktekan di abad pertengahan.
Kata republik
berasal dari kata res artinya kepentingan
dan publica artinya umum. Jadi
artinya mengurus kepentingan umum. Republik merupakan bentuk pemerintahan yang
berkedaulatan rakyat dan dikepalai oleh presiden. Dalam pemerintahan republik,
organisasi negara ditujukan untuk kepentingan umum. Rakyatlah yang menentukan
pemerintahan, termasuk menentukan kepala negara yang dinamakan presiden dengan
waktu yang ditentukan rakyat dan rakyat mempunyai hak yang sama dalam segala
bidang kehidupan. Dalam negara republik terdapat dua kecenderungan atau sifat; republik otoriter dan republik demokratis.
Negara Indonesia
pada awal kemerdekaannya telah menyatakan dirinya sebagai negara republik.
Negara kesatuan republik sejak tahun 1945. Dalam rentang sejarah, Indonesia
pada tahun 1949-1950 pernah menjadi negara republik Indonesia serikat. Sedangkan
pada masa orde baru, di era presiden Soeharto negara Indonesia adalah negara republik
yang otoriter. Keotoriteran Soeharto nampak dari kekuasaanya (eksekutif) yang
bisa mengendalikan parlemen, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan yang tidak
berasaskan kehendak masyarakat banyak sebagaimana prinsip republik dan
demokrasi itu sendiri untuk kepentingan umum dan lamanya berkuasa sampai dengan
32 tahun.
Pada masa Orde
baru Soeharto, kebebasan pers, media dan kebebasan membentukan organisasi telah
diberikan ruang. Akan tetapi, keberadaan organisasi/partai politik dan pers
serta lembaga perwakilan rakyat dan lembaga negara lainnya hanya dianggap
formalitas belaka karena semua kebijakan dikendalikan oleh pemerintahan yang
berkuasa malalui kekuatan militer. Partai politik dan pers tidak dapat
menjalankan fungsinya dengan baik karena intervensi yang sangat tinggi oleh
pemerintah. Golongan karya yang dianggap partai pada akhirnya tidak mau disebut
partai. Pada akhirnya, aspirasi rakyat hanya dianggap formalitas belaka untuk
memenuhi standar sebagai negara republik. Intervensi eksekutif dalam hal ini
presiden Soeharto terjadi pada semua lini kehidupan bernegara. Ini bukti
kekuasaan yang otoriter di masa orde baru. Negara, di era ini sangat kuat
karena kekuasaan dikendalikan oleh seorang penguasa otoriter lewat kekuatan
militer. Inilah potret pemerintahan masa orde baru Indonesia.
Republik Demokratis dan Indonesia
Banyak
yang berpendapat negara republik adalah lebih demokratik dari negara monarki. Hal ini dikarenakan republik mengusung kepentingan umum rakyat
sebagaimana kehendak dari demokrasi. Namun itu semuanya sebenarnya bergantung
kepada siapa yang memegang kuasa eksekutif dan bagaimana kebijakan yang
dilahirkannya. Pada hampir setengah negara-negara monarki, raja hanyalah sekedar lambang kedaulatan negara, dan perdana menteri
lebih berkuasa dari raja. Monarki biasanya bertakhta seumur hidup dan kuasanya
akan diberi kepada keturunan atau dipilih mengikut peraturan yang ditetapkan.
Banyak negara monarki adalah demokratik.
Di Indonesia, pada tahun 1998
pasca orde baru yang ditandai dengan kejatuhan Soeharto yang berarti awal
lahirnya reformasi, telah mengalami perubahan yang sangat besar dalam segala
bidang. Reformasi juga di tandai dengan kebebasan yang dimiliki tiap masyarakat,
dimana setiap orang diberikan jaminan oleh undang-undang untuk bebas
berekspresi, mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul, serta kebebasan
pers dan media. Era ini menandai lahirnya demokrasi bagi bangsa Indonesia.
Negara Indonesia sampai pada saat
ini telah memasuki 13 tahun reformasi. Reformasi yang ditandai dengan demokrasi
ini justru bagi sebagian orang dianggap gagal penerapannya di Indonesia.
Sekalipun pada sebagian orang lainnya masih mentolerir ketidakharmonisan
demokrasi dalam republik di era reformasi. Hal ini disebabkan karena mereka
mengganggap negara Indonesia masih dalam tahap transisi demokrasi. Akan tetapi
jika dilihat dari perjalanan reformasi dari tahun ke tahun yang umurnya telah
melampaui satu dasawarsa ini, demokrasi substansial yang diharapkan di awal
reformasi semakin jauh dari harapan. Demokrasi yang dianggap sebagai aturan
yang memuat prinsip-prinsip demokratis, yaitu keadilan, persamaan, kebebasan
dan pengakuan atas hak milik pribadi atau menurut Robert Dahl, prinsip
demokrasi, yaitu adanya akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekruitmen
politik terbuka, pemilu dan menikmati hak-hak dasar tidak terjadi di Indonesia.
Prinsip-prinsip itu hanya dilaksanakan pada tingkat prosedural, tetapi tidak
secara substansial. Kesenjangan ini semakin menjauhkan dari harapan untuk
merealisasikan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam demokrasi, pemerintah bukanlah
penguasa yang sesungguhnya, karena pemerintah merupakan pelayan masyarakat,
sebagai pemilik kedaulatan dan kekuasaan yang sejati. Kebebasan yang dimiliki
oleh rakyat sebagai buah demokrasi dan reformasi justru melahirkan anarkisme
karena kebebasan itu tidak dibarengi dengan regulasi yang dibuat oleh
pemerintah dalam menetapkan tingkat kebebasan dari rakyat. Kondisi inilah yang
melahirkan ketidakstabilan dalam negara Indonesia.
Sikap pesimis terhadap demokrasi
kemudian menjadikan rakyat fobia terhadap apapun yang mempuyai embel-embe
demokrasi. Hal ini sebagai efek dari banyaknya kasus-kasus yang terjadi di era
reformasi mulai dari kasus hukum terutama kasus korupsi yang merajalela dan
menjamur pada semua tingkatan masyarakat dan struktur pemerintahan, kasus
politik pemerintahan khususnya masalah kisruh partai politik, otonomi daerah,
pemekaran dan pemberian otonomi khusus (Aceh dan Papua) yang dianggap tidak
menyelesaikan masalah, masalah sosial khususnya tentang kemiskinan yang
sekalipun secara kuantitas berdasarkan perhitungan pemerintah berkurang tiap
tahun, tapi pada dasarnya secara kualitas masih banyak masyarakat yang berada
di bawah garis kemiskinan, kemudian masalah kesehatan dan pendidikan yang terlampau
mahal bagi masyarakat tingkat bawah sehingga susuah untuk di akses. Kasus
belakangan ini yang sering muncul adalah masalah kebebasan beragama dan
kekerasan atas nama agama yang sampai pada hari ini masih menimbulkan polemik. Secara
kelembagaan memang demokrasi itu seolah-olah ada, misalnya saja ada partai
politik, pers, dan lembaga perwakilan rakyat. Tetapi, secara factual demokrasi
menjadi sulit terlihat karena arena partisipasi politik terbatasi dan
terkontaminasi dengan berbagai tendensi pragmatis dan politis sebagai akibat
buah demokrasi dan reformasi yang melahirkan kebebasan yang tanpa batas.
Pada dasarnya, demokrasi dan
republik memiliki kesamaan prinsip untuk memperjuangkan kepentingan umum. Seyogyanya
demokrasi dalam republik Indonesia bisa melahirkan sikap;(1) toleransi dari mayoritas kepada
minoritas. Disini tercermin pula saling melindungi, saling menghargai dan yang
besar mengayomi yang kecil (2) adanya musyawarah dalam
memutuskan setiap pesoalan, bukan ditentukan sendiri oleh kelompok yang
mayoritas, karena akan berubah menjadi tirani mayoritas (3) adanya aturan hukum yang
diterapkan untuk semuanya tanpa pandang bulu. Demokrasi tanpa aturan hukum akan
menjadi anarkis. Karena itu, hukum merupakan dasar yang paling penting untuk
menjaga hubungan antara rakyat dan negara demi kebaikan dan kesejahteraan
rakyat.
Pada akhirnya, republik yang
dianut Indonesia tidak bisa dikatakan demokratis sekalipun pada kenyataannya bahwa era
reformasi telah membuka ruang demokrasi bagi setiap warga negara. Republik yang
dianggap akan melahirkan demokratisasi justru mengarah pada absurbditas
demokrasi yang tidak jauh berbeda dengan republik yang memiliki sifat otoriter
di era Soeharto dan monarki di akhir abad pertengahan.
*Penulis
adalah direktur pusat studi demokrasi Universitas Hasanuddin, Ilmu
pemerintahan, fisip Unhas angkatan 2006