adsensenya icang

Kamis, 02 Juni 2011

Sejahtera tidak, demokrasi pun tidak


Oleh : Layosibana Akhirun

Demokrasi uang
Fakta menunjukan bahwa biaya pemilu, pilpres, dan pilkada amat besar. Biaya dan mutu demokrasi yang dihasilkan tidak seimbang. Reaksi yang muncul ada yang mengatakan bahwa demokrasi dapat di nomorduakan yang penting kesejahteraan.

Dalam pidato pengukuhan guru besar di UGM, riswandha imawan beberapa tahun silam menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia mulai bergerak menjauh dari pengabdian kepada kepentingan rakyat. Demokrasi
telah menjadi kendaraan efektif bagi elite untuk memperoleh kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan, bukan diikhtiarkan untuk rakyat. kalaupun ada konsep ikhtiar untuk rakyat, semua hanya lips service.

Suara rakyat dapat kita beli sebagaimana kita lihat contohnya dalam pemilu dan pilkada di banyak tempat. Maka, yang muncul sebagai calon dalam pilkada dan pilpres adalah mereka yang punya uang dalam jumlah amat besar, walaupun mereka tidak punya integritas. Tokoh yang punya kemampuan dan karakternya baik
tidak bisa muncul karena tidak punya uang cukup. Maka demokrasi kita adalah demokrasi uang.

Demokrasi ekonomi dan demokrasi politik harus berjalan bersama. Jika perekonomian hanya memberi kesempatan kepada kepaa kelompok tertentu yang jumlahnya sedikit dan mengabaikan nasib sebagian besar rakyat, demokrasi tidak akan berumur panjang. Kalaupun ada prosesnya masih demokratis tetapi sebenarnya tidak, prosedural tetapi tidak substansial.


Tercampaknya rasa keadilan

Demokrasi tidak bisa dipisahkan dari keberanian lembaga-lembaga hukum. Pemerintah yang demokratis tidak bisa dipisahkan dari konsep dasar hak asasi dan kesetaraan individu yang dijunjung tinggi. Lumpuhnya
demokrasi pada 1957-1965 tidak bisa dilepaskan dari lumpuhnya rule of law dan lembaga-lembaga hukum.

Pada 1950-an, menurut Daniel S Lev, dunia hukum indonesia masih punya integritas. Jaksa sangat kukuh dan tidak memberi ruang untuk kompromi. Ketua MA punya wibawa tinggi dan menempatkandiri sejajar dengan presiden. Lembaga MA mulai hancur saat Soekarno mengangkat Ketua MA Wiryono prodjodikoro sebagai MenteriPenasihat Hukum.
Pada era Orde Baru, kondisi lembaga hukum secara struktural ditempatkan posisinya sesuai UU, tetapi secara umum tidak diisi oleh pribadi-pribadi yang punya keberanian. Wakil Jaksa Agung Priatna Abdul Rasyid, yang berani menentang Pak Harto untuk menghentikan pemeriksaan terhadap Dirut Priat Pertamina, diberhentikan. Kapolri Hugeng yang kerumah Pak Harto di Jalan Cendana untuk melporkan rencana menindak pengusaha backing penyelundup ternyata bertemu disana dengan pengusaha itu.
Lembaga hukum saat ini masih jauh dari harapan masyarakat, walaupun sudah ada kemajuan. Banyak keputusan hakim yang dianggap masyarakat tidak memenuhi rasa keadilan, seperti pembalakan liar.

Seorang guru besar ilmu hukum mengatakan bahwa paham natural law yang menekankan bahwa hukum harus berdasar moral, memuat budi baik, dan penuh rasa keadilan telah tercampak dan digantikan oleh aliran positivisme yang mengatakan bahwa hukum adalah apapun yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang membuatnya.

Amich Alhmami menyimpulkan bahwa hubungan demokrasi-kesejahteraan tidak bersifat linier-kausalistik, melainkan nonlinier-kondisional yang melibatkan banyak faktor, seperti pengalaman sejarah, basis sosial, struktur masyarakat, pendidikan penduduk, penegakan hukum, kemantapan/kelenturan institusi politik.

Sejumlah catatan diatas membenarkan kesimpulan Amich Alhumami tersebut. Kita masih perlu banyak belajar dan memperbaiki banyak hal untuk bisa mewujudkan demokrasi. Kalau mau menjawab mana yang harus dipilih antara demokrasi atau kesejahteraan, JK mengikuti LKY dan memilih kesejahteraan. Banyak tokoh lain tetap bersikeras bahwa kita tidak harus memilih salah satunya tetapi keduanya dapat kita peroleh.

Sayang kenyataan pahit menunjukan bahwa kita justru tidak memperoleh keduanya. Kita tidak memperoleh demokrasi dan tidak memperoleh kesejahteraan. Tetapi, kita tidak mungkin kembali kepada otoritarianisme karena sejarah menunjukan bahwa sistem itu tidak mampu menciptakan kesejahteraan . jadi kita harus terus memperjuangkan demokrasi dengan memenuhi syarat-syaratnya, yaitu penegakan hukum dan keadilan secara nyata dan memperbaiki kehidupan kepartaian dengan menampilkan politisi yang berkarakter, berbudaya, bertanggung jawab dan punya rasa malu.

Tidak ada komentar: